the girl has no tear

Perempuan itu diam.
Berdiri disana dengan tegak.
Tatapannya kosong.

Ia sedang berjalan pulang.
Raut mukanya datar.

Adiknya datang menarik - menarik jaketnya, "Kakak! Kakak! Aku pinjam ponselmu ya?"
Ia menatap lurus ke depan.
Tangannya bergerak menjauhkan adiknya, tak sengaja menampar pipinya.
Adiknya menangis.

23:15
Keluarganya sudah tidur, kecuali ia.
Ia merebahkan badannya.
Matanya menatap langit - langit.

Ia merenung.
Memikirkan kesalahannya.

Mengapa ia memarahi adiknya saat ingin meminjam ponselnya.
Padahal adiknya ingin belajar untuk ulangan.

Mengapa ia tidak menangis saat melihat mayat ayahnya.
Padahal ayahnya teman terbaiknya dulu.

Mengapa ia tidak menangis saat menonton film di bioskop bersama teman - temannya.
Padahal mereka bilang film itu akan membuatnya menangis tersedu - sedu.

Mengapa ia tidak tertawa.
Saat koleganya melucu sampai membuat orang - orang terbahak - bahak.

Ia memikirkan masalahnya.
Titik permasalahannya.

Dan ia sadar bahwa dirinya tak mempunyai emosi.

Ia tidak bisa menangis.
Saat melihat ayahnya dikuburkan, dadanya sesak.
Namun air mata tak kunjung keluar.
Rasanya ingin teriak. Rasanya ia ingin pergi ke tengah - tengah hutan tropis lalu tersesat. Ia ingin meneriakkan nama ayahnya dengan lantang. Ingin memanggil nama ayahnya agar bisa kembali.
Tapi kebenaran itu hanyalah mimpi.
Ia tidak mungkin pergi ke tengah - tengah hutan tropis. Ia tidak mungkin meneriakkan nama ayahnya. Ia tidak mungkin bisa mengambil ayahnya kembali. Ia tidak mungkin bisa memeluk ayahnya lagi.

Ia ingin sekali menangis,
Tapi mengapa tidak bisa? MENGAPA TIDAK BISA?!
Air matanya tak kunjung keluar.
Dadanya semakin sesak. Rasanya ingin meremas jantung dan paru - parunya.
Namun yang keluar hanyalah ekspresi datar.

Mereka bilang itu film sedih.
Mereka benar. Tapi mengapa matanya sama sekali tidak mengeluarkan air?
Dan itu hanya membuatnya sesak. Dadanya sakit.
Melihat si pria tewas tertembak di medan perang, meninggalkan istrinya yang sedang mengandung.
Apakah ia akan menangis jika menjadi si istri?


Ia tidak bisa tertawa.
Padahal teman - temannya tertawa terbahak - bahak sampai wajah mereka merah.
Ia ingin. Tapi tidak bisa.
Rasanya bingung. Ia berpikir bahwa lelucon itu tidak cukup lucu.
Padahal apa salahnya tertawa?
Dan akhirnya hanya ekspresi datar yang nampak.

Bingung.
Mengapa ia malah memarahi adiknya.
Padahal adiknya ingin belajar untuk ulangan esok hari.
Ia juga mengharapkan hasil yang bagus. Ia ingin adiknya pintar.
Tetapi mengapa ia malah memarahinya?
Mengapa ia, yang harusnya senang, tersenyum, malah memasang muka datar, dan tidak sengaja menampar adiknya.
Ia sangat merasa bersalah. Tetapi ia tidak bisa menunjukkannya.

Kebingungan ini membuatnya tidak bisa tidur.
Mengapa wajah ini tak pernah menunjukkan ekspresinya? Mengapa ia tidak bisa mengeluarkannya?
Ia menjambakki rambutnya, menampar pipinya, menyubit kulitnya, mencakar kakinya, sakit.
Ya, sakit. Sangat sakit.
Dadanya semakin sesak. Fisiknya sakit. Ia ingin menangis.
Ia terus menerus menyakiti dirinya.
Sampai ia pergi ke dapur untuk mengambil pisau dan menggores urat nadinya.

Sakit sekali.
Dan untuk pertama kalinya ia menangis. Matanya mengeluarkan air.
Ia tidak tahu harus sedih atau senang.
Ia telah membunuh dirinya. Seharusnya ia sedih.
Tapi ini juga kali pertamanya semua masalah terlupakan.
Ia menangis. Ia tertawa. Rasanya lebih baik. Sangat baik.
Untuk pertama kalinya ia merasa sebaik ini.


Dan ia ditemukan berbaring tak bernyawa di dapurnya.


xxxThinkingTyperxxx


CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment