Sering aku berpikir,
Mungkin waktu itu aku belum siap,
Mungkin waktu itu niatku bukan karena-Nya,
Mungkin waktu itu aku hanya mengikuti orang-orang.
Aku rindu saat tidak harus selalu menggerai atau mengikat rambutku di bawah kain ini.
Aku rindu saat aku bebas melakukan aktivitas karena aku tidak harus selalu memakai pakaian lengan panjang dan bawahan panjang serta penutup kepala.
"Apa sebaiknya aku kembali lagi seperti dulu?"
Pertanyaan itu sering melintas dalam benak.
Namun di saat yang sama, aku merasa ditarik oleh ketapel, terlempar ke masa lalu.
Bagaimana pada saat itu orang-orang selalu salah mengira kalau aku non-Muslim.
Bagaimana komentar orang tentang penampilanku yang seperti benang kusut.
Bagaimana aku, sering mendapat kalimat menjijikan dan siulan tak merdu dari laki-laki di jalan yang tak kukenal.
Sampai ada seseorang berkata kepadaku,
"Kenapa gak pake kerudung aja? Buat nunjukkin identitas kalau kamu itu orang Islam."
Malam itu kalimat itu selalu terngiang di kepalaku.
Aku beragama Islam, tapi mengapa aku selalu berusaha untuk berpenampilan seperti bukan Islam?
Mengapa aku tidak bangga dengan identitasku sendiri bahwa aku orang Islam?
Aku belum siap.
Ini merupakan respon pertamaku setelah mempertimbangkan untuk mulai menutup aurat.
Namun, lagi-lagi aku berpikir,
Aku tidak bisa menjadi sepenuhnya beriman di umurku yang muda ini untuk menutup aurat. Aku tidak bisa sepenuhnya beriman. Mungkin butuh waktu yang lama, mungkin menunggu sampai aku tua, atau mungkin sampai aku mati aku tidak akan pernah sepenuhnya beriman. Namun untuk setidaknya mencoba, aku bisa.
Untuk sepenuhnya beriman membutuhkan langkah-langkah. Langkah-langkah itu seperti to-do-list yang biasa aku buat setiap hari dalam jurnalku. Satu demi satu kegiatan aku lakukan, dan jika sudah selesai akan kucentang.
Perintah-perintah Tuhan aku analogikan seperti to-do-list dalam jurnal. Aku tidak bisa melakukan semua kegiatan sekaligus untuk memenuhinya, melainkan dengan melakukannya satu demi satu. Perintah menutup aurat adalah salah satu dari banyak kegiatan itu. Tidak peduli kalau imanku masih seperti rumah tanpa fondasi waktu itu, setidaknya aku mencoba melaksanakan dan mempertahankan.
Seiring waktu berjalan, tantangan dan godaan datang silih berganti.
Seperti kendaraan yang selalu lewat setiap kali ingin menyebrang.
Di awal justru terasa lebih mudah dibanding sekarang.
Rasa tidak nyaman, rasa seperti bukan diri sendiri, tidak percaya diri, sering datang menghampiri.
"He was okay with being Jewish."
He was okay wearing his gold necklace and the Star of David with a golden mezuzah on his neck, showing it off by unbuttoning the first button of his billowy blue shirt.
Suatu karakter yang selalu aku ingat dari tokoh Oliver, Okay with so many things in life.
Oliver merasa baik-baik saja dengan statusnya sebagai penganut agama Yahudi. Ia merasa nyaman menunjukkan identitasnya sebagai umat agama itu. Mengapa aku tidak?
xxxThinkingTyperxxx
0 comments:
Post a Comment